Bila kita menyebut nama Lawang Sewu Semarang, rasanya secara otomatis ingatan akan tergiring pada stigma angker yang terlanjur melekat pada bangunan peninggalan Belanda ini.
Padahal ada sangat banyak hal yang bisa Anda dapatkan dari bangunan megah ini selain sekedar kisah-kisah horror yang entah benar atau tidak.
Karena itu kali ini kita tanggalkan saja kisah-kisah horror tadi dan mencoba melihat bangunan anggun Lawang Sewu Semarang sebagai sebuah aset peninggalan masa kompeni. Ya dari sisi sejarah saja, bangunan ini adalah sebuah saksi bisu, bagaimana perjalanan kota Semarang dari 100 tahun lampau.
Bangunan ini berdiri beriringan dengan pembangunan kota Semarang sebagai kota niaga, bisnis dan pelabuhan pada masa penjajahan Belanda. Bangunan ini pula yang menjadi saksi bisu bagaimana sejarah alam menghajar kota ini berkali-kali dengan banjir-banjir besar. Serta tentu saja kesaksiannya atas masa-masa perjuangan kota Semarang dalam merebut kemerdekaan termasuk pertempuran 5 hari Semarang.
Tetapi selain melihatnya sebagai saksi bisu sejarah, Anda bisa melihatnya sebagai sebuah contoh kemegahan arsitektural masa lampau Eropa. Bangunan ini berdiri pada tahun 1904 dengan dua orang arsitek bernama Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag dari Amsterdam yang memulai perancangan sejak tahu 1901.
Bangunan ini mengusung konsep art deco yang sedang menjadi trend desain arsitektural di kalangan imperial Eropa, termasuk Belanda. Konsep Art Deco menonjol dengan bentuk bangunan yang lebih tegas dan elegan. Detil bangunan lebih bersih dengan ukiran yang lebih geometric Tetapi tampaknya arsitek Lawang Sewu juga memasukan unsur Gothic pada bangunan dengan sedikit menyuntikan detil ukiran ala Eropa kuno dalam ukuran kecil.
Bagian bangunan yang menonjol adalah dua menaranya yang berada di bagian depan bangunan. Bentuk bangunan benar-benar beradaptasi dengan bentuk bangunan yang menyudut, sehingga kedua menara yang berada di sudut utama segitiga tampak menjadi center bangunan.
Selain itu, desain bangunan dengan jendela-jendela berukuran besar dan menjulang hingga ke atas membuat kesan setiap ruangan dipenuhi oleh pintu. Itulah yang mengawali bangunan yang sebenarnya adalah kantor perkereta apian Belanda pada awal penggunaannya ini mendapat nama Lawang Sewu.
Yang terakhir dan merupakan hasil adaptasi kondisi alam Semarang yang kadangkala banjir kadangkala kering adalah ruang bawah tanah yang menyerupai kolam. Inilah ruangan yang dianggap angker karena dulu di masa penjajahan Jepang menjadi ruangan penyiksaan.
Sebenarnya kolam-kolam ini bertujua sebagai tempat penampungan air bersih bagi gedung dengan menyalurkan air hujan dan menyimpannya secara rapat. Penampungan ini juga menjadi pengalihan banjir sehingga kawasan Lawang Sewu bisa bebas banjir.
Inilah kecerdasan masa lampau dari para arsitek dunia Eropa yang dengan pintar mengadaptasi lingkungan Tropis dengan desain khas Eropa dengan ciamik. Dan jadilah Lawang Sewu Semarang sebagai sebuah monumen sejarah yang megah dan mempesona.